Solo Camp di Bunder
Malam itu, suasana di Bunder benar-benar sunyi dan penuh dengan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Kami mendapat tugas untuk melakukan solo camp, yaitu berkemah sendirian di tempat terbuka tanpa bantuan orang lain. Masing-masing dari kami membawa perlengkapan sendiri untuk bertahan semalaman, termasuk alat-alat sederhana dan perlengkapan untuk menjaga diri dari berbagai kemungkinan bahaya. Angin malam berhembus cukup kencang, membuat udara terasa semakin dingin dari biasanya. Di tengah kegelapan yang hanya diterangi cahaya rembulan, kami memulai petualangan yang tak terlupakan itu.
Namun, ternyata tidak semua teman-temanku membawa perlengkapan yang lengkap. Banyak dari mereka yang lupa membawa selimut, padahal itu sangat penting untuk melindungi tubuh dari udara malam yang menusuk. Untung saja aku membawanya, sehingga aku bisa tidur dengan lebih nyaman meskipun tetap merasakan dinginnya udara malam. Setelah solo camp berakhir, kami saling berbagi cerita tentang pengalaman masing-masing. Banyak teman-temanku yang mengeluh kedinginan sepanjang malam, bahkan ada yang sampai mengalami gejala hipotermia karena suhu yang terlalu rendah. Pengalaman itu membuat kami semua belajar bahwa perlengkapan sederhana seperti selimut bisa menjadi penyelamat dalam kondisi seperti itu.
Selama solo camp, kami membangun tempat berlindung seadanya menggunakan apa pun yang bisa ditemukan di sekitar. Ranting-ranting kering kami susun menjadi rangka tenda, lalu ditutup dengan trash bag yang seharusnya digunakan sebagai kantong sampah. Bahkan alas untuk tidur pun kami buat dari trash bag agar tidak langsung bersentuhan dengan tanah yang dingin. Beberapa dari kami memilih tidur di dekat semak-semak atau pohon besar untuk mengurangi terpaan angin malam. Ada juga yang menggunakan mattress tipis sebagai alas. Karena ini adalah solo camp, tempat tidur kami pun berjauhan satu sama lain, membuat suasananya semakin sepi dan menantang.
Awalnya, panitia mengatakan bahwa kegiatan solo camp hanya akan berlangsung sampai waktu salat tahajud. Namun kenyataannya, kami harus bertahan hingga waktu subuh. Malam yang panjang itu benar-benar menguji ketahanan fisik dan mental kami. Banyak teman yang menggigil kedinginan dan ada pula yang jatuh sakit karena udara yang terlalu menusuk. Meskipun terasa berat, pengalaman tersebut mengajarkan kami tentang arti kesabaran, kemandirian, dan pentingnya persiapan yang matang sebelum menghadapi tantangan alam.
Akhirnya, meskipun malam itu terasa berat, pengalaman solo camp di Bunder menjadi salah satu kenangan paling berharga. Kami belajar bahwa hal-hal kecil seperti selimut ternyata memiliki peran besar dalam menjaga kesehatan dan kenyamanan. Dari pengalaman ini pula, kami menjadi lebih menghargai arti persiapan dan kerja keras dalam menghadapi keadaan yang tidak terduga. Solo camp bukan hanya tentang tidur sendirian di alam terbuka, tetapi juga tentang melatih mental, belajar bertahan hidup, dan menghargai setiap pelajaran yang diberikan oleh alam.

Komentar
Posting Komentar